Rampogan Macan
Ada salah satu tradisi jawa kuno yang di
sebut dengan ‘Rampogan Macan’ yang berarti rebutan atau rayahan macan. Tradisi
tersebut di lakukan di alun-alun Karaton Surakarta sementara penonton duduk
bersama di Pagelaran.Biasanya Pada acar ini dulu masih banayk yang mengikuti dan menonton,tetapi sekarang kecintaan terhadap budaya jawa dan minatnya makin menurun.Harusnya kita bisa menjaga warisan budaya leluhur kita.
Awal pertama kali di adakannya Rampogan ini
tidak jelas sejak kapan, ada yang memperkirakan sudah sejak zama hindu-budha.
Namun yang pasti acara ini sangat terkenal dan sering di selenggarakan pada
abad 18-19. Pada awalnya sering di lakukan di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta dan merupakan tradisi para ningrat. Di Kesunanan Surakarta nampaknya
sudah mulai ada sejak zaman Amangkurat II. Acara di laksanakan di alun-alun
utara yang biasanya di adakan untuk menyambut tamu agung. Tamu agung ini
biasanya adalah para pembesar dari penjajah Belanda seperti Gubernur Jenderal.
Pada awalnya yang sering di adu dalam Rampogan Macan ini adalah macan dengan
banteng.
Tercatata ialah Paku Buwono X yang sangat
gemar mengadakan acara Rampogan Macan ini. Macan dan hewan-hewan liar lainnya
memang sengaja di pelihara dalam kandang di sudut alun-alun. Hewan liar ini
adalah hasil buruan atau tangkapan yang nantnya akan di pagelarkan dalam acara
Rampogan.
Acara biasanya mulai di laksanakan pada pagi
hari dan puncak acara berupa pertarungan antara macan dan banteng pada siang
hari. Awal acara pada pagi harinya setelahpara pembesar datang dan berkumpul
maka para prajuit bersiap-siap di tengah alun-alun dengan membentuk formasi
mengelilingi arena pertarungan. Para prajurit lengkap dengan baju perangnya
dengan tombak yang berbaris dalam -5 lapis barisan secara rapat. Para pembesar
menyaksikan dari sebuah panggung yang di namakan pagelaran. Biasanya Sultan
atau Sunan akan duduk berdampingan dengan Gubernur Jenderal. Sedang masyarakat
menonton berdesakan di luar arena dengan terkadang sampai menaiki pohon-pohon
agar dapat leluasa menyaksikan pertarungan.
Setelah semuanya siap maka kandang macan akan
di letakkan di tengan arena dan seorang abdi dalem yang pemberani seraya
berjoget (tayungan) akan menghampiri dan menaiki kandang serta membuka tutup
kandang. Terkadang setelah kandang terbukatidak serta merta sang macan akan
segera mengamuk memasuki arena. Tak jarang sang macan malah bermalasan atau
terheran-heran karena cahaya yang menyilaukan dan banyaknya manusia, oleh
karena itu biasanya prajurit akan menakut-nakutinya dengan api, tusukantombak
dan berbagai cara agar macan mengamuk. Begitu pula dengan banteng yang di iring
ke alun-alun, agar ia mau mengamuk biasanya di beri dengan air campuran cabe rawit
agar badannya kepanasan dan ia megamuk.
Banteng yang menggerakannya kurang gesit di
banding macan ini biasanya malah lebih sering emenangkan pertarungan karena
badannya lebih besar dan tanduk banteng biasanya di kerik terlebih dulu
sahingga menjadi runcing. Tak jarang pula sang macan dapat memenangkan
pertarungan ini walau dengan banyak luka, dan biasanya macan tersebut mati
karena luka-luka dari banteng tersebut.
Macan yang masih hidup akan di bunuh
beramai-ramai dengan cara di tombak oleh prajurit yang ada. Macan yang berlari
kesana kemari akan terus di tombak dari
segala penjuru sampai akhirnya kelelahan dan kehabisan darah lalu mati. Namun
tak jarang sang macan dapat menembut barikade prajuritdan lari ke luar arena.
Walau tampak menegangkan namun inilah momen yang sering di nanti. Macan yang
lari ini tidak jelas akan menuju ke mana dan para penonton akan ketakutan lalu
berlari ke segala penjuru, sementara prajurit yang pemberani akan terus
mengejar sampai dapat dan biasanya macan memang akan mati pada akhirnya. Inilah
yang di tnggu dalam rampogan macan ini, di mana banyak simbolisasi dalam acara
ini.
Imbolisasi memang sesuatu hal yang sangat
akrab di lakoni oleh orang Jawa. Simbolisasi ini pula yang dapat melanggengkan
hegemoni kekuasaan pihak kerajaan. Macan yang mati terluka dengan ribuan
hujaman tombak sering di gunakan sebagai penggabaran tokoh wa ini pula yang
dapat melanggengkan hegemoni kekuasaan pihak kerajaan. Macan yang mati terluka
dengan ribuan hujaman tombak sering di gunakan sebagai penggabaran tokoh
pewayangan Abimayu ketika menjadi Senapati saat perang Baratayuda Jayabinangun,
saat di keroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah. Urutan
acara yang di buat sedemikian rupa juga sering di luputi hal magis juga membuat
sekat-sekat keagungan dari sebuah kekuasaan Sultan yang mempunyai batas dengan
rakyatnya. Acara pagelaran macan ini juga ingin menunjukkan bahwa adanya
kemurahan hati dari Sultan bahwa macan ini dapat di tundukkan oleh kekuasaannya
dan masyarakat jelata boleh melihatnya secara langsung dan beramai-ramai.
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa macan
mempresentasikan kekuasaan kolonial Belanda dan Banteng adalah bangsa pribumi.
Oleh karena tunduknya kekuasaan pribumi terhadap penjajah maka perasaan
emosional ini di lampiaskan dalam bentuk Rampogan Macan di mana di harapkan
banteng akan menjadi pemenang seperti biasanya dan macan yang buas akan di
tumpas bersama-sama. Walau memang sebenarnya pertarungan hewan liar ini ada
banyak macamnya.
Seperti di sebutkan di atas bahwa Rampogan
Macan adalah tradisi ningrat yang biasanya di laksanakan oleh perintah Sultan,
maka di Jawa Timur pada akhir abad ke 1 hal ini banyak di lakukan di alun-alun
kabupaten yang di selenggarakan oleh para bupati. Rampogan Macan pada masa itu,
di daerah Timur nampaknya lebih banyak merupakan pembantaian terhadap macan
ketimbang pertarungan antara macan dengan banteng.
Tercatat di kota Kediri dan Blitar yang
paling sering mengadakan acara ini walau di kabupaten lain juga pernah
mengadakannya. Di sini walau sebagian besar acara adalah sama seperti yang di
adakan di Alun-alun Keraton, namun bukan prejurit yang berhadapan dengan sang
macan, namun para pemberani dari berbagai kalangan. Acara seperti ini biasanya
di lakukan pada hari raya seperti Hari Raya Idul Fitri. Di sini macan bukan
merupakan peliharaan bupati, tetapi merupakan tangkapan penduduk.
Kandang-kandang macan di sini lebih rumit
dalam hal pembuatan dan cara membukanya. Kandang biasanya terbuat dari pohon
aren dan ketika di letakkan di tengah alun-alun memakai semacam tali yang bila
di tarik akan langsung membuat kandang itu terbuka berantakan. Namun sebelumnya
terdapat pengunci yang di buka oleh seorang kepala desa yang di sebut Gandek.
Ia beraksi selayaknya abdi dalem di acara Rampogan ala Keraton.
Comments
Post a Comment